A.
Pengertian Subjek Pendidikan
Subjek
pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam
memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan
dapat dipahami oleh objek pendidikan.
Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan
para ahli pendidikan adalah orang tua, guru-guru di institusi formal
(disekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan
pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah
tangga (orang tua).Sebagai seorang
muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah dan
yang kedua adalah Rasulullah.[1]
1. Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua
Orang tua sebagai pendidik menurut kodrat adalah pendidik
pertama dan utama, karena secara kodrat anak manusia dilahirkan oleh orang
tuanya (ibunya) dalam keadaan tidak berdayam hanya dengan pertolongan dan
layanan orang tua (terutama ibu) bayi (anak manusia) itu dapat hidup dan
berkembang semakin dewasa. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan
edukatif, mengandung dua unsur dasar, yaitu:
a. Unsur kasih sayang pendidik terhadap anak.
b. Unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun
perkembangan anak.
2. Pendidik menurut jabatan, yaitu guru.
Guru adalah pendidik kedua setelah orang tua. Mereka
tidak bisa disebut secara wajar dan alamiah menjadi pendidik, karena
mereka mendapat tugas dari orang tua, sebagai pengganti orang tua. Mereka
menjadi pendidik karena profesinya menjadi pendidik, guru di sekolah misalnya.
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah
pendidk profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, pada pendidikan
anak usia dini, jalur pendidikan formanl, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Guru berfungsi sebagai pendidik di samping sebagai pengajar. Guru membentuk
sikap siswa, bahwa guru menjadi contoh atau teladan bagi siswa-siswanya. Hal
itu tidak mungkin kalau guru hanya bertuigas mengajar saja.[2]
Adapun untuk
syarat sebagai seorang pendidik adalah sebagai berikut :
a.
Syarat
fisik
Seorang
pendidik harus berbadan sehat, tidak memiliki penyakit yang mungkin akan
mengganggu pekerjaannya. Seperti penyakit menular.
b.
Syarat
psikis
Seorang pendidik harus sehat jiwanya
(rohani)nya, tidak mengalami gangguan jiwa, stabil emosi, sabar, ramah ,
penyayang, berani atas kebenaran, mempunyai jiwa pengabdian, bertanggung jawab
dan memiliki sifat-sifat positif yang lainnya.
c.
Syarat
keagamaan
Seorang
pendidik harus seorang yang beragama dan mengamalkan agamanya. Disamping itu
dia menjadi figur dalam segala aspek kepribadiannya. Sebagaimana firman Allah
dalam surah an-Nahal (16): 43-44
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan
kitab-kitab] jika kamu tidak mengetahui. Keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[Yakni:
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al Quran] dan supaya mereka memikirkan.
d.
Syarat
teknis
Seorang
pendidik harus memiliki ijazah sebagai bukti kelayakan pendidik menjadi seorang
guru.
e.
Syarat
Pedagogis
Seorang
pendidik harus menguasai metode pengajaran, menguasai materi yang akan
diajarkan, dan ilmu lain yang mendukung ilmu yang dia ajarkan.
f.
Syarat
administrative
Syarat pendidik
harus diangkat oleh pemerintah, yayasan atau lembaga lain yang berwenang
mengangkat guru. Sehingga ia diberi tugas untuk mendidik dan mengajar. Dan dia
benar-benar mengabdikan dirinya sepenuh hati dalam provesinya sebagai gurun.
Semua ketentuan tentang pendidik di atas, itu
hanya terbatas pada kriteria pendidik dalam dunia pendidikan, karena itu
cakupannya lebih sempit dan terbatas. Untuk melengkapi kriteria subjek
pendidikan dalam arti yang luas, berikut akan dipaparkan.
B.
Subjek Pendidikan Perspektif Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an
1.
Tafsir Surah Ar-Rahman ayat 1-4
ß`»oH÷q§9$# ÇÊÈ zN¯=tæ tb#uäöà)ø9$# ÇËÈ Yn=y{ z`»|¡SM}$# ÇÌÈ çmyJ¯=tã tb$ut6ø9$# ÇÍÈ
“(tuhan) yang
Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia.
mengajarnya pandai berbicara.” (QS.Ar-Rahman [55] : 1-4)
Pada surah ar-Rahman ayat 1-4 ditegaskan
disini bahwa yang menjadi subjek pendidikan adalah seorang manusia yang
merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna karena diberikan olehnya
sesuatu yang tidak ia berikan kepada makhluk ciptaannya yang lain yakni akal
yang mengangkat derajat manusia sehingga manusialah yang berhak menjadi subjek
pendidikan baik bagi sesama ataupun bagi makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Surah Ar-rahman terdiri dari 78 ayat, surah
ini termasuk ke dalam surah Madaniyah. Dinamankan Ar-Rahman yang berarti Yang
Maha Pemurah berasal dari kata Ar-Rahman yang terdapat pada ayat pertama surah
ini. Ar-rahman merupakan satu dari sekian nama Allah SWT, sebagian besar dari surah
ini menerangkan kepemurahan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan
memberikan nikmat-nikmat yang tak terhingga baik di dunia maupun di akhirat kelak.[3]
Selain itu ayat ini juga menjelaskan tentang
bagaimana Allah dalam sifatnya Yang Maha Kasih Sayang telah mengajarkan Al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad saw. untuk kemudian dijadikan landasan utama bagi kaum
muslimin dalam mengarungi kehidupan di dunia. Sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa :
Aku telah
meninggalkan 2 perkara untuk kalian, kalian tidak akan sesat selama berpegang
teguh kepada keduanya, yakni kitabullah (Al-Quran) dan sunnah Nabi-Nya.
Dalam konteks ayat ini, kata Ar-rahman juga dapat ditambahkan bahwa kaum musyrikin Mekah tidak mengenal siapa Ar-Rahman sebagaimana
pengakuan mereka yang direkam oleh Q.S Al-Furqan 25 :60. Dimulainya surah ini
dengan kata tersebut bertujuan juga mengundang rasa ingin tahu mereka dengan
harapan akan tergugah untuk mengakui nikmat – nikmat dan beriman kepada Nya.[4]
Kata ‘Al-lama atau mengajarkan memerlukan objek.
Banyak ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud objek disini adalah Al-insan atau manusia. Malaikat jibril yang menerima wahyu dari Allah yang berupa
Al-qur’an untuk disampaikan kepada nabi Muhammad Saw, disampaikan oleh beliau
kepada nabi, malaikat jibril tidak akan mungkin mengajarkannya kepada nabi
kalau sebelumnya tidak mendapat pengajaran kepada Allah.
Al-Hasan berkata kata Al-Bayan berarti berbicara,
karena konteks Al-qur’an berada dalam pengajaran Allah yaitu cara membacanya,
hal ini berlangsung dengan cara memudahkan pengucapan artikulasi serta
memudahkan keluarnya huruf melalui jalanya masing-masing dari tenggorokan,
lidah dan dua bibir sesuai dengan keragaman artikulasi sesuai dengan jenis
hurufnya.[5]
Sedangkan menurut Thabathaba’i, kata bayan berarti jelas,
yang dimaksud disini dalam arti potensi mengungkap yakni kalam atau
ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang terdapat dalam benak.
Menurutnya tidaklah dapat terwujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga
mahluk ini dapat mencapai kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupan kecuali
dengan kesadaran tentang al-kalam atau pembicaraan itu
sendiri, karena dengan demikian dia telah membuka pintu untuk memeroleh dan
memberi pemahaman, tanpa itu manusia akan sama saja dengan binatang dalam hal
ketidakmampuannya mengubah wajah kehidupan dunia ini.[6]
Adapun kaitan ayat ini dengan subjek
pendidikan adalah sebagai berikut :
a.
Kata
Ar-rahman menunjukan bahwa sifat-sifat pendidik adalah murah hati, penyayang
dan lemah lembut, santun dan berakhlak mulia kepada anak didiknya dan siapa
saja (kompetensi personal).
b.
Seorang
guru hendaknya memiliki kompetensi pedagogis yang baik sebagaimana Allah
mengajarkan Al-Qur’an kepada nabi-Nya.
c.
Al-Qur’an
menunjukkan sebagai materi yang diberikan kepada anak didik adalah
kebenaran/ilmu dari Allah (kompetensi professional).
d.
Keberhasilan
pendidik adalah ketika anak didik mampu menerima dan mengembangkan ilmu yang
diberikan, sehingga anak didik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan
spiritual dan kecerdasan intelektual.[7]
2.
Tafsir Surah An-Najm ayat 4-6
¼çmuH©>tã ßÏx© 3uqà)ø9$# ÇÎÈ rè ;o§ÏB 3uqtGó$$sù ÇÏÈ
“Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan
(Jibril itu) Menampakkan diri dengan rupa yang asli.”
(QS.An-Najm:5-6)
Surah An-Najm termasuk kedalam surah Makiyah,
jumlah ayatnya terdiri dari 62 ayat. Surah ini diturunkan sesudah surah
Al-Ikhlas. Nama An-Najm yang berarti bintang, diambil dari perkataan An-Najm
yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Menurut keterangan yang shahih, surah
An-Najm ini surah yang pertama kali dikemukakan oleh Rosulullah saw.[8]
Pada surah An-Najm ini ditegaskanya
klasifikasi seorang pendidik atau siapa saja yang berkompeten menjadi subjek
pendidikan yakni seperti yang tersurah dalam ayat ini adalah seperti halnya
seorang malaikat jibril yang mana beliau digambarkan sebagai berikut:
a.
Sangat kuat, maksudnya memiliki fisik dan
psikis yang matang dan mampu memecahkan masalah.
b. Mempunyai akal yang cerdas, yakni seorang pendidik haruslah memiliki akal
yang mumpuni dalam bidangnya yakni berkompeten dalam mengajarkan apa yang
diajarkannya sebagai seorang subyek pendidikan.
c. Menampakan dengan rupanya yang asli, yakni seorang subyek pendidikan hendaklah
bersikap wajar yang tidak melebih-lebihkan segala sesuatu baik dari dirinya
maupun apa yang dilakoninya dalam bidangnya.
Sedangkan dalam tafsir Al-Qurtubi dijelaskan
bahwa seluruh mufassir mengatakan شديد القوى adalah malaikat Jibril, kecuali Al-Hasan, ia menyatakan
bahwa شديد القوى
adalah Allah saw. Adapun kalimat ذومرة berarti memiliki kekuatan dan kecerdasan atau
wawasan luas. Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir. Dengan merujuk
kepada pendapat jumhur mufassir, ayat ini berbicara tentang malaikat Jibril
yang menjadi guru besar nabi Muhammad saw. terlepas dari perbedaan mengenai
figur yang disebut pada ayat 5, seluruh mufassir sepakat bahwa figur yang
dimaksud bersifat memiliki kekuatan dalam segala dimensinya serta kecerdasan
khusus. Dengan demikian, makna pendidikan dalam ayat ini adalah bahwa seorang
pendidik seyogyanya merupakan sosok yang kuat, baik dari segi fisik, mental,
ekonomi, maupun intelektual.[9]
3. Tafsir Surah An-Nahl ayat 43-44
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% wÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqR öNÍkös9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
”Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[10],
jika kamu tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka[11],
dan supaya mereka memikirkan”[QS.An-Nahl:43-44)
Surah An-Nahl adalah surah ke-16 dalam
Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 128 ayat dan termasuk surah makiyyah. Surah
ini dinamakan An-Nahl yang berarti lebah, karena didalamnya terdapat firman
Allah SWT, yaitu pada ayat 68 yang artinya : ”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah”. Lebah adalah makhluk Allah yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan
kepada manusia. Ada persamaan antara madu yang dihasilkan oleh lebah dengan
Al-Qur’an Al-Karim. Madu berasal dari bermacam-macam sari bunga dan dia menjadi
obat bagi bermacam-macam penyakit manusia.[12]
Sedang Al-Qur’an mengandung inti sari dari kitab-kitab yang telah diturunkan
kepada nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan
oleh semua bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Surah
ini dinamakan pula An-Ni’am artinya nikmat-nikmat, karena didalamnya
Allah menyebutkan berbagai macam kenikmatan yang diperuntukan hamba-hambanya.[13]
Penyebutan anugerah Allah kepada nabi Muhammad
secara khusus dan bahwa yang dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan
perbedaan kedudukan beliau dengan para nabi dan para rasul sebelumnya. Dalam
konteks ini nabi Muhammad saw bersabda :
”Tidak seorang nabi pun kecuali telah
dianugerahkan Allah apa (bukti-bukti indrawi) yang menjadikan manusia percaya
padanya. Dan sesungguhnya aku dianugerahi wahyu (Al-Qur’an) yang bersifat
immaterial dan kekal sepanjang masa, akan aku mengharap menjadi yang paling
banyak pengikutnya dihari kemudian”. (HR.Bukhari).
Adapun dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa
kata أهل الذكر
ditafsirkan sebagai العلماء بالتوراة والانجيل (para ulama yang memahami kitab Taurat dan kitab Injil).
Ibnu Katsir menjelaskan hal yang senada bahwa yang dimaksud dengan ahludz
dzikr adalah ahli kitab sebelum Muhammad saw.
Sementara itu, kaitannya dengan subjek
pendidikan pada ayat tersebut adalah bahwa seorang guru dalam perannya sebagai
ahli al-dzikr selain berfungsi sebagai orang yang mengingatkan para peserta
didik dari berbuat yang melanggar larangan Allah dan rasul-Nya, juga sebagai
seorang yang mendalami ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan yang terdapat
dalam berbagai kitab yang pernah diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya
dari sejak dahulu kala hingga sekarang. Sebagai ahli al-dzikr ia dapat mencari
titik persamaan antara ajaran yang terdapat didalam berbagai kitab tersebut
untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[14]
Selain itu surah an-Nahl menerangkan bahwa Allah
Swt mengutus utusannya dengan terlebih dahulu memberikannya wahyu kepada
utusannya, ini dikarenakan agar segala bentuk pertanyaan yang mungkin diajukan
kepada utusannya dapat dijawab dan dipecahkan sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh Allah dan tidak mungkin terjadi kedzaliman dalam hal ini.
Di karenakan semua jawaban yang diberikan oleh
utusannya adalah datang dari tuhan, oleh karena itu, sebagai subyek pendidikan
yang merupakan salah satu sumber pendidikan hendaklah memiliki segala
pengetahuan yang sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan itu sendiri. Yakni
sebagai seorang pendidik hendaklah mempersiapkan segala sesuatu sebelum
mengadakan proses pembelajaran yang mana jikalau terdapat kasus-kasus pendidik
dapat menyelesaikan apa yang muncul didalam proses pembelajaran. Maka tidak
salah jika salah satu syarat sebagai seorang pendidik adalah memiliki
kecerdasan pikiran mental dan juga spiritual yang digambarkan pada ayat ini.
4.
Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66
tA$s% ¼çms9 4ÓyqãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Yô©â ÇÏÏÈ
“Musa berkata
kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
(QS.Al-Kahfi:66)
Surah
Al-Kahfi artinya gua, disebut juga surah Ashab Al-Kahfi yaitu surah ke-18 dalam
Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 110 ayat dan termasuk kedalam surah Makiyah.
Dinamai Al-Kahfi dan Ashabul Kahfi yang artinya Penghuni-Penghuni Gua. Kedua
nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surah ini pada ayat 9 sampai
dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua bertahun-tahun
lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah cerita dalam surah
ini, yang kesemuanya mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat berguna bagi
kehidupan umat manusia.
Menurut
Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan tentang ucapan nabi Musa terhadap nabi
Khidhir yang sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi
permintaanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu?”.
Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan,
yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga
menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni
untuk menjadi petunjuk baginya. Disisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan
ilmu hamba yang shaleh itu sehingga nabi Musa mengharap kiranya dia mengajarkan
sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu nabi Musa
tidak menyatakan “Apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah” karena beliau
sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni Allah
Yang Maha Mengetahui. Memang, nabi Musa dalam ucapannya itu tidak menyebut nama
Allah sebagai sumber pengajaran karena hal tersebut telah merupakan aksioma
bagi manusia beriman.
Disisi
lain, disini kita menemukan hamba yang shaleh itu juga penuh dengan tata karma.
Beliau langsung tidak menolak permintaan nabi Musa, tetapi menyampaikan
penilaiannya bahwa nabi agung itu tidak akan bersabar mengikutinya sambil
menyampaikan alas an yang sungguh logis dan tidak menyinggung perasaan ketidak
sabaran tersebut.
Berdasarkan
ayat diatas menunjukan bahwa interaksi yang terjadi antara guru dan murit harus
berlangsung dalam suasana saling menghargai/menghormati. Sikap ini seperti yang
ditunjukan oleh nabi Musa kepada nabi Khidhir merupakan cerminan dari kesabaran
dan sikap lapang dada dalam memberikan bimbingan/pengajaran kepada muritnya
Dengan
demikian, seorang pendidik harus memiliki kompetensi akhlak dan kepribadian
yang luhur dalam proses pembelajaran. Diantaranya adalah dengan memiliki sikap
sabar dalam menghadapi perilaku peserta didiknya. Jika sikap seperti ini dapat
diterapkan dalam proses pembelajaran, maka akan tercipta suasana yang kondusif
terhadap upaya memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik.
Pada surah al-Kahfi ayat 66 ini menjelaskan
bahwa subjek pendidikan bisa siapa saja yang berkompeten di dalam bidangnya
tanpa terkecuali dan tanpa pandang bulu seperti pada ayat ini, ketika nabi Musa
berguru kepada Khidir walaupun Khidir merupakan salah satu nabi sedangkan Musa
merupakan nabi dan rasul tetapi Allah menyuruhnya untuk berguru atau menuntut
ilmu kepada Khaidir dikarenakan Khaidir merupakan orang yang berkompeten dalam
rangka mengajarkan Musa. Jadi sebagai seorang pendidik atau sebagai subjek
pendidikan hendaklah menguasai seluk beluk bidang yang digelutinya dalam hal
yang akan diajarkannya kepada peserta didik.
Adapun
sikap yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah sebagai berikut :
a.
Mengajarkan
dan mempraktikkan etika islam.
b.
Menghiasi
wajahnya dengan senyum.
c.
Menggunakan
kata-kata yang baik dan bijak.
d.
Memperingatkan
anak didiknya ketika melakukan kesalahan.
e.
Menjawab
pertanyaan anak didiknya.
f.
Menjaga
kebersihan diri dan pakaiannya.
Berdasarkan pemaparan diatas,
seorang pendidik harus menyadari betul keagungan profesinya. Ia harus menghiasi
dirinya dengan akhlak yang mulia dan menjauhi semua akhlak yang tercela. Ia
tidak boleh kikir dalam menyampaikan pengetahuannya dan menganggap remeh semua
masalah yang merintangi, sehingga mampu mencapai target dan misinya dalam
melakukan sistem pendidikan. Sikap seperti ini akan mampu mendorong seorang
pendidik untuk melakukan hal-hal besar dalam menjalani profesinya demi
mendapatkan hasil yang maksimal baik anak didiknya.
[2] Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan,(Jakarta
: Rineka Cipta), hlm. 8
[3] Ahmad Izzan, Tafsir
Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, PAM Press, Banten, 2012,
hal.201
[4] Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
Al Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 405
[5] Abdullah bin
Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir,Terj.
M. Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al-Atsari, (Pustaka Imam Syafii,2008), cet. 1.
Hlm. 229-230
[6] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,jilid
13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3, hlm. 278
[7] Ahmad Izzan, Tafsir
Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, PAM Press, Banten, 2012,
hal.203
[8] Ibid hal.203
[9] Ahmad Izzan, Tafsir
Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, PAM Press, Banten, 2012,
hal.204
[10] Yakni:
orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab.
[11] Yakni:
perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam
Al Quran
[12] Untuk lebih
jelas lihat dalam ayat 69
[13] Ahmad Izzan, Tafsir
Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, PAM Press, Banten, 2012,
hal.204
[14] Ibid hal.207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar