Rabu, 13 Mei 2020

AYAT SUCI DI ATAS AYAT KONSTITUSI


 AYAT SUCI DI ATAS AYAT KONSTITUSI


Oleh: Ummu Avicenna

"Saya menghimbau pada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik"
Publik kembali dihebohkan dengan pernyataan yang kontroversial dari salah satu petinggi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi tersebut. Dia menyebut agama merupakan musuh Pancasila. Hal tersebut tentu saja membuat kegaduhan di tengah masyarakat.
Setelah pernyataan tersebut mendapat sorotan tajam dari beberapa kalangan. Barulah ia mengklarifikasi atas apa yang telah disampaikannya. Menurut Yudian penjelasannya yang dimaksud adalah bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis.
Yudian juga menambahi bahwa Pancasila adalah penopang. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kesetiaan atau bahasa lainnya sekuler, tapi bukan sekularisme. (voa-Islam.com, 14/2/2020)
Menteri Agama, Fachrul Razi juga turut memberikan suara dukungannya pada Yudian. Menurut Fachrul, Kepala BPIP tidak bermaksud menyampaikan pertentangan antara agama dan Pancasila. Justru, kata Fachrul, Yudian menyampaikan bahwa Pancasila didukung oleh para ulama dan tak bertentangan dengan agama. (CNN Indonesia, 13/2/2020)
Bukan hal yang baru jika yang mengeluarkan pernyataan kontroversial dari pihak pemerintah. Maka, para pejabat istana juga menterinya akan segera melakukan pembelaan mati-matian. Demi nama baik rezim yang sedang berjalan memimpin negeri.
Dalam rezim sekuler, hal yang biasa jika ditemukan wacana mempertentangkan agama dengan sesuatu yang lain. Karena agama memang harus dipisahkan dari kehidupan. Bahkan memata-matai agama tertentu (baca: Islam), juga hal yang sering kita temukan saat ini.
Menumpulkan kesadaran politik umat Islam dengan menjauhkan umat dari ajaran-ajaran Islam merupakan sesuatu yang berbahaya. Apalagi hal itu dilakukan oleh para pejabat negara yang mayoritas muslim. Hingga menjadi pertanyaan bagi kita, apakah mereka tak takut dosa?
Berani betul menyatakan, agama musuh ideologi negara, bahkan “mengekang” para khatib Jumat dengan sertifikasi dan harus memiliki standar tidak menimbulkan masalah kebangsaan.
Akhirnya publik dapat menyimpulkan bahwa kegaduhan dan narasi konflik banyak dimunculkan dari pemerintahan yang berkuasa saat ini. Bukan datang dari kelompok yang mereka tuduhkan sebagai pengganggu NKRI.
Publik juga dapat menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan kontroversial tersebut menegaskan bahwa rezim sekuler akan selalu menempatkan Islam sebagai musuh. Pada saat dorongan umat menghendaki Islam menjadi rujukan mencari solusi masalah bangsa.

LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN BPIP

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. BPIP merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden.
Pada 19 Mei 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Namun demikian, UKP-PIP dirasa perlu disempurnakan dan direvitalisasi organisasi maupun tugas dan fungsinya dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 perlu diganti dalam rangka penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Atas dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 28 Februari 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dengan revitalisasi dari bentuk unit kerja menjadi bentuk badan, diharapkan BPIP akan tetap existing walaupun pemerintahannya terus berganti. Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, maka Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

TUGAS BPIP

BPIP memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.

FUNGSI BPIP

·         Perumusan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila;
·         Penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan peta jalan pembinaan ideologi Pancasila;
·         Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan program pembinaan ideologi Pancasila;
·         Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila;
·         Pengaturan pembinaan ideologi Pancasila;
·         Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila;
·         Pelaksanaan sosialisasi dan kerja sama serta hubungan dengan lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila;
·         Pengkajian materi dan metodologi pembelajaran Pancasila;
·         Advokasi penerapan pembinaan ideologi Pancasila dalam pembentukan dan pelaksanaan regulasi;
·         Penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan Pancasila serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; dan
·         Perumusan dan penyampaian rekomendasi kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila.






ANTARA PANCASILA DAN ISLAM
Mensikapi pernyataan yang kontrovesial diatas, bagaimanakah umat Islam akan bersikap? merasa bersalah dan akhirnya membela diri. Seraya mengatakan  “sesungguhnya Pancasila itu sejalan dengan Islam.” Atau umat Islam harus mulai berfikir kritis, jangan-jangan Pancasila memang tidak sejalan dengan Islam. Sebab jika Pancasila sejalan dengan Islam, mengapa agama Islam selalu diserang dan disudutkan? Baik ajarannya, simbol-simbolnya bahkan ulamanya.  Jika Prof. Yudian Wahyudi menyatakan dengan tegas bahwa musuh terbesar Pancasila adalah Agama. Bukankah Islam adalah agama?
Jika stigma yang dilontarkan oleh kepala BPIP  tersebut menyatakan “Musuh Terbesar Pancasila adalah Agama” , maka para ulama, intelektual muslim dan umat islam pada umumnya pada akhirnya akan dihadapkan pada dua pilihan. Anda memilih Pancasila atau Agama? Anda memilih mengatakan “Aku Pancasila” ataukah “Aku Seorang Muslim” ?

Jika kita bisa bersikap jujur, fakta yang terlihat menunjukkan bahwa  Pancasila tidaklah selaras dengan Islam secara keseluruhan (kaffah), tetapi selaras kepada “sebagian ajaran Islam.” Baik di dalam persoalan Ushul (pokok) maupun di dalam persoalan furu’ (cabang). Beberapa persoalan furu’ yang bisa kita bandingkan adalah pertama; Persoalan Riba, Islam memandang riba adalah kemaksiatan dan dosa besar, tetapi Pancasila membolehkannya. Bahkan ekonomi Indonesia ditopang dengan riba. Kedua ; Zina dan LBGT , Islam memandang sebagai tindakan terlarang dan dosa besar, tetapi Pancasila membiarkannya. Ketiga; Pakaian Jilbab bagi muslimah, Islam mewajibkannya, sedangkan Pancasila membebaskannya boleh memilih. Keempat; Qishos, Islam mewajibkannya. Pancasila melarangnya. Dan seterusnya, kita temukan banyak kontradiksi.
Sedangkan hal-hal yang bisa selaras diantaranya; Sholat, puasa, haji, zakat , umroh, berdzikir , serta ibadah mahdhoh lainnya antara Islam dan Pancasila bisa berjalan seiring. Ini artinya keselarasan antara Islam dan Pancasila tidaklah secara utuh. Tetapi yang lebih tepat adalah Pancasila selaras dengan “sebagian ajaran islam”. Inilah tantangan ke depan yang harus dijawab. Dan ini semua harus diselesaikan melalui diskusi. Setiap langkah untuk menutup pintu diskusi hanya akan menunjukkan wajah represif dan kediktatoran penguasa. Sebab pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Tidak boleh dengan pendekatan kekuasaan. Seraya memaksakan diri dengan mengatakan Pancasila itu sudah Final. Pendekatan melalui kekuasaan justru menunjukkan penguasa tidak siap menghadapi realitas. Sebab yang diinginkan adalah sebuah penjelasan yang paripurna. Bukan penjelasan dogmatis yang memaksa.
Allah SWT berfirman:
Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas syariah (peraturan) dari urusan (agama) itu. Karena itu ikutilah syariah itu dan jangan kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (TQS al-Jatsiyah [45]: 18).
Berdasarkan ayat ini, Allah SWT memerintah kita agar senantiasa menjalankan semua syariah yang sudah Dia tetapkan; melakukan segala yang Dia perintahkan dengan sekuat tenaga; dan menjauhi semua yang Dia larang dengan kepasrahan jiwa. Semuanya itu merupakan konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Risiko dari ketidaktaatan seorang Muslim pada aturan-aturan Kitab Sucinya adalah ia bisa dicap fasik, zalim bahkan juga kafir. Allah SWT, antara lain, berfirman:
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
Berdasarkan ayat ini, sepeninggal Rasulullah saw. penguasa wajib selalu merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah yang beliau tinggalkan, terutama dalam membuat hukum atau undang-undang. Itulah yang dipraktikkan sepanjang sejarah Kekhalifahan Islam dulu. Artinya, hukum atau undang-undang yang digunakan saat itu adalah Hukum Ilahi atau undang-undang Allah.
Di dalam sistem Khilafah Islam, pemegang kedaulatan tertinggi adalah Allah SWT yang ketetapan-Nya tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi, pada saat tertentu, ada keputusan Khalifah yang tidak mengikuti ketetapan Allah, namun lebih karena kecenderungan hawa nafsunya. Nah, tindakan yang seperti inilah yang disebut oleh para ulama sebagai ‘kufur kecil’ atau kufr[un] duna kufr[in] (kekufuran di bawah kekufuran).
Berbeda dengan sistem yang berlaku saat ini. Dasar undang-undang yang dipakai adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Demokrasi menjadi pilarnya. Kedaulatan tertinggi di dalam pemerintahan demokrasi ada di tangan rakyat. Di tangan rakyatlah—melalui para wakilnya—hak membuat hukum, yang tidak harus merujuk pada Hukum Ilahi atau al-Quran dan as-Sunnah.
Karena rakyat yang berdaulat, ketetapan Allah SWT atau Hukum Ilahi bisa saja dibatalkan jika suara mayoritas rakyat tidak menyetujui.
Padahal meyakini keesaan Allah SWT juga berlaku dalam penetapan hukum (tasyri’). Artinya, Allahlah satu-satunya yang layak membuat hukum. Bukan manusia. Manusia justru merupakan obyek yang dihukumi.

HUKUM ALLAH DI ATAS SEGALANYA
Karena itu pernyataan bahwa hukum konstitusi harus berada di atas ayat-ayat suci, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Yudian (BPIP), jelas merupakan pernyataan mungkar yang wajib ditentang oleh setiap Muslim. Pasalnya, itu merupakan bentuk penghinaan terhadap syariah Allah SWT.
Ini persis sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh kaum Yahudi. Mereka lebih mengutamakan hukum-hukum buatan para rahib mereka sehingga berani mengesampingkan Kitabullah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 101).
Kaum Yahudi diberi kitab oleh Allah SWT. Akan tetapi, mereka berpaling dari kitab tersebut. Dengan berbagai alasan mereka menolak hukum-hukum Allah yang ada dalam kitab mereka. Allah SWT berfirman:
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian, yaitu al-Kitab (Taurat)? Mereka diseru pada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka. Kemudian sebagian dari mereka berpaling dan selalu membelakangi (kebenaran) (TQS Ali Imran [3]: 23).
Begitu banyak Allah SWT mengisahkan keburukan kaum Yahudi di dalam al-Quran, terutama pembangkangan mereka terhadap aturan-aturan Allah SWT. Mereka mengesampingkan Kitabullah dan mengagung-agungkan hukum jahiliah buatan manusia. Persis para penguasa saat ini. Na’udzubilLah min dzalik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cenna dan Limfoma

   13 Sya'ban 1436H - 12 Sya'ban 1445H Hari ahad kliwon 13 Sya'ban 1436 H atau 31 Mei 2015 anak pertama ku Muhammad Avicenna Suj...