AYAT SUCI DI ATAS AYAT KONSTITUSI
Oleh: Ummu Avicenna
"Saya menghimbau pada orang
Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan
bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas
kitab suci. Itu fakta sosial politik"
Publik kembali dihebohkan dengan pernyataan
yang kontroversial dari salah satu petinggi Badan Pembina Ideologi Pancasila
(BPIP), Yudian Wahyudi tersebut. Dia menyebut agama merupakan musuh Pancasila.
Hal tersebut tentu saja membuat kegaduhan di tengah masyarakat.
Setelah pernyataan tersebut mendapat
sorotan tajam dari beberapa kalangan. Barulah ia mengklarifikasi atas apa yang
telah disampaikannya. Menurut Yudian penjelasannya yang dimaksud adalah bukan
agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan
Pancasila. Karena menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu
religius atau agamis.
Yudian juga menambahi bahwa
Pancasila adalah penopang. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kesetiaan atau bahasa
lainnya sekuler, tapi bukan sekularisme. (voa-Islam.com, 14/2/2020)
Menteri Agama, Fachrul Razi juga
turut memberikan suara dukungannya pada Yudian. Menurut Fachrul, Kepala BPIP
tidak bermaksud menyampaikan pertentangan antara agama dan Pancasila. Justru,
kata Fachrul, Yudian menyampaikan bahwa Pancasila didukung oleh para ulama dan
tak bertentangan dengan agama. (CNN Indonesia, 13/2/2020)
Bukan hal yang baru jika yang
mengeluarkan pernyataan kontroversial dari pihak pemerintah. Maka, para pejabat
istana juga menterinya akan segera melakukan pembelaan mati-matian. Demi nama
baik rezim yang sedang berjalan memimpin negeri.
Dalam rezim sekuler, hal yang biasa
jika ditemukan wacana mempertentangkan agama dengan sesuatu yang lain. Karena
agama memang harus dipisahkan dari kehidupan. Bahkan memata-matai agama
tertentu (baca: Islam), juga hal yang sering kita temukan saat ini.
Menumpulkan kesadaran politik umat
Islam dengan menjauhkan umat dari ajaran-ajaran Islam merupakan sesuatu yang
berbahaya. Apalagi hal itu dilakukan oleh para pejabat negara yang mayoritas
muslim. Hingga menjadi pertanyaan bagi kita, apakah mereka tak takut dosa?
Berani betul menyatakan, agama musuh
ideologi negara, bahkan “mengekang” para khatib Jumat dengan sertifikasi dan
harus memiliki standar tidak menimbulkan masalah kebangsaan.
Akhirnya publik dapat menyimpulkan
bahwa kegaduhan dan narasi konflik banyak dimunculkan dari pemerintahan yang
berkuasa saat ini. Bukan datang dari kelompok yang mereka tuduhkan sebagai
pengganggu NKRI.
Publik juga dapat menyimpulkan bahwa
pernyataan-pernyataan kontroversial tersebut menegaskan bahwa rezim sekuler
akan selalu menempatkan Islam sebagai musuh. Pada saat dorongan umat
menghendaki Islam menjadi rujukan mencari solusi masalah bangsa.
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN BPIP
Pada 19 Mei 2017,
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Namun demikian,
UKP-PIP dirasa perlu disempurnakan dan direvitalisasi organisasi maupun tugas
dan fungsinya dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 perlu diganti dalam
rangka penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Atas dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 28
Februari 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018
tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dengan revitalisasi dari bentuk
unit kerja menjadi bentuk badan, diharapkan BPIP akan tetap existing walaupun
pemerintahannya terus berganti. Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2018, maka Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
TUGAS BPIP
BPIP memiliki tugas
membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila,
melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi
Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan
standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap
kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga
tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial
politik, dan komponen masyarakat lainnya.
FUNGSI BPIP
·
Perumusan arah
kebijakan pembinaan ideologi Pancasila;
·
Penyusunan garis-garis
besar haluan ideologi Pancasila dan peta jalan pembinaan ideologi Pancasila;
·
Penyusunan dan
pelaksanaan rencana kerja dan program pembinaan ideologi Pancasila;
·
Koordinasi,
sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila;
·
Pengaturan pembinaan
ideologi Pancasila;
·
Pelaksanaan pemantauan,
evaluasi, dan pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan
pembinaan ideologi Pancasila;
·
Pelaksanaan sosialisasi
dan kerja sama serta hubungan dengan lembaga tinggi negara,
kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan
komponen masyarakat lainnya dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila;
·
Pengkajian materi dan
metodologi pembelajaran Pancasila;
·
Advokasi penerapan
pembinaan ideologi Pancasila dalam pembentukan dan pelaksanaan regulasi;
·
Penyusunan
standardisasi pendidikan dan pelatihan Pancasila serta menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan; dan
·
Perumusan dan
penyampaian rekomendasi kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan
Pancasila.
ANTARA PANCASILA DAN ISLAM
Mensikapi
pernyataan yang kontrovesial diatas, bagaimanakah umat Islam akan bersikap? merasa
bersalah dan akhirnya membela diri. Seraya mengatakan “sesungguhnya
Pancasila itu sejalan dengan Islam.” Atau umat Islam harus
mulai berfikir kritis, jangan-jangan Pancasila memang tidak sejalan dengan
Islam. Sebab jika Pancasila sejalan dengan Islam, mengapa agama Islam selalu
diserang dan disudutkan? Baik ajarannya, simbol-simbolnya bahkan ulamanya.
Jika Prof. Yudian Wahyudi menyatakan dengan tegas bahwa musuh terbesar
Pancasila adalah Agama. Bukankah Islam adalah agama?
Jika
stigma yang dilontarkan oleh kepala BPIP tersebut menyatakan “Musuh
Terbesar Pancasila adalah Agama” , maka para ulama, intelektual muslim dan umat
islam pada umumnya pada akhirnya akan dihadapkan pada dua pilihan. Anda memilih
Pancasila atau Agama? Anda memilih mengatakan “Aku Pancasila” ataukah “Aku
Seorang Muslim” ?
Jika
kita bisa bersikap jujur, fakta yang terlihat menunjukkan bahwa Pancasila
tidaklah selaras dengan Islam secara keseluruhan (kaffah), tetapi selaras
kepada “sebagian ajaran Islam.” Baik
di dalam persoalan Ushul (pokok) maupun di dalam persoalan furu’ (cabang).
Beberapa persoalan furu’ yang bisa kita bandingkan adalah pertama; Persoalan
Riba, Islam memandang riba adalah kemaksiatan dan dosa besar, tetapi Pancasila
membolehkannya. Bahkan ekonomi Indonesia ditopang dengan riba. Kedua
; Zina dan LBGT , Islam memandang sebagai tindakan
terlarang dan dosa besar, tetapi Pancasila membiarkannya. Ketiga; Pakaian
Jilbab bagi muslimah, Islam mewajibkannya, sedangkan Pancasila membebaskannya
boleh memilih. Keempat; Qishos, Islam
mewajibkannya. Pancasila melarangnya. Dan seterusnya, kita temukan banyak
kontradiksi.
Sedangkan
hal-hal yang bisa selaras diantaranya; Sholat, puasa, haji, zakat , umroh,
berdzikir , serta ibadah mahdhoh lainnya antara Islam dan Pancasila bisa berjalan
seiring. Ini artinya keselarasan antara Islam dan Pancasila tidaklah secara
utuh. Tetapi yang lebih tepat adalah Pancasila selaras dengan “sebagian
ajaran islam”. Inilah tantangan ke depan yang harus
dijawab. Dan ini semua harus diselesaikan melalui diskusi. Setiap langkah untuk
menutup pintu diskusi hanya akan menunjukkan wajah represif dan kediktatoran
penguasa. Sebab pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Tidak boleh dengan
pendekatan kekuasaan. Seraya memaksakan diri dengan mengatakan Pancasila itu
sudah Final. Pendekatan melalui kekuasaan justru menunjukkan penguasa tidak
siap menghadapi realitas. Sebab yang diinginkan adalah sebuah penjelasan yang
paripurna. Bukan penjelasan dogmatis yang memaksa.
Allah
SWT berfirman:
Kemudian
Kami menjadikan kamu berada di atas syariah (peraturan) dari urusan (agama)
itu. Karena itu ikutilah syariah itu dan jangan kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui (TQS al-Jatsiyah [45]: 18).
Berdasarkan
ayat ini, Allah SWT memerintah kita agar senantiasa menjalankan semua syariah
yang sudah Dia tetapkan; melakukan segala yang Dia perintahkan dengan sekuat
tenaga; dan menjauhi semua yang Dia larang dengan kepasrahan jiwa. Semuanya itu
merupakan konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah SWT.
Risiko dari
ketidaktaatan seorang Muslim pada aturan-aturan Kitab Sucinya adalah ia bisa
dicap fasik, zalim bahkan juga kafir. Allah SWT, antara lain, berfirman:
Siapa
saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan, mereka
itulah kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
Berdasarkan
ayat ini, sepeninggal Rasulullah saw. penguasa wajib selalu merujuk pada
al-Quran dan as-Sunnah yang beliau tinggalkan, terutama dalam membuat hukum
atau undang-undang. Itulah yang dipraktikkan sepanjang sejarah Kekhalifahan
Islam dulu. Artinya, hukum atau undang-undang yang digunakan saat itu adalah
Hukum Ilahi atau undang-undang Allah.
Di dalam
sistem Khilafah Islam, pemegang kedaulatan tertinggi adalah Allah SWT yang
ketetapan-Nya tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi, pada saat
tertentu, ada keputusan Khalifah yang tidak mengikuti ketetapan Allah, namun
lebih karena kecenderungan hawa nafsunya. Nah, tindakan yang seperti inilah
yang disebut oleh para ulama sebagai ‘kufur kecil’ atau kufr[un] duna kufr[in]
(kekufuran di bawah kekufuran).
Berbeda
dengan sistem yang berlaku saat ini. Dasar undang-undang yang dipakai adalah
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Demokrasi menjadi pilarnya.
Kedaulatan tertinggi di dalam pemerintahan demokrasi ada di tangan rakyat. Di
tangan rakyatlah—melalui para wakilnya—hak membuat hukum, yang tidak harus
merujuk pada Hukum Ilahi atau al-Quran dan as-Sunnah.
Karena
rakyat yang berdaulat, ketetapan Allah SWT atau Hukum Ilahi bisa saja
dibatalkan jika suara mayoritas rakyat tidak menyetujui.
Padahal
meyakini keesaan Allah SWT juga berlaku dalam penetapan hukum (tasyri’).
Artinya, Allahlah satu-satunya yang layak membuat hukum. Bukan manusia. Manusia
justru merupakan obyek yang dihukumi.
HUKUM
ALLAH DI ATAS SEGALANYA
Karena
itu pernyataan bahwa hukum konstitusi harus berada di atas ayat-ayat suci,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Yudian (BPIP), jelas merupakan
pernyataan mungkar yang wajib ditentang oleh setiap Muslim. Pasalnya, itu
merupakan bentuk penghinaan terhadap syariah Allah SWT.
Ini
persis sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh kaum Yahudi. Mereka lebih
mengutamakan hukum-hukum buatan para rahib mereka sehingga berani
mengesampingkan Kitabullah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 101).
Kaum
Yahudi diberi kitab oleh Allah SWT. Akan tetapi, mereka berpaling dari kitab
tersebut. Dengan berbagai alasan mereka menolak hukum-hukum Allah yang ada
dalam kitab mereka. Allah SWT berfirman:
Tidakkah
kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian, yaitu al-Kitab
(Taurat)? Mereka diseru pada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di
antara mereka. Kemudian sebagian dari mereka berpaling dan selalu membelakangi
(kebenaran) (TQS Ali Imran [3]: 23).
Begitu
banyak Allah SWT mengisahkan keburukan kaum Yahudi di dalam al-Quran, terutama
pembangkangan mereka terhadap aturan-aturan Allah SWT. Mereka mengesampingkan
Kitabullah dan mengagung-agungkan hukum jahiliah buatan manusia. Persis para
penguasa saat ini. Na’udzubilLah min dzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar