Para guru melalui Forum Komunikasi Guru SPK
(Satuan Pendidikan Kerja Sama) mengeluhkan penghentian tunjangan profesi.
Tunjangan profesi yang dihentikan ini tercantum dalam Peraturan Sekretaris
Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6
Tahun 2020. Dalam aturan tersebut, di Pasal 6 tercantum bahwa tunjangan
profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang bertugas di Satuan Pendidikan
Kerja Sama (SPK). (dikutip dari Kompas.com, Jum’at, 24 Juli 2020 17.00)
“Kami
berharap Kemendikbud memiliki rasa empati yang tinggi terhadap guru-guru kita
yang mengalami dampak dari pandemi Covid-19 ini, jangan sampai ada yang
berkurang pendapatannya,” imbuhnya. Menurut Ramli, para guru justru harus
dijaga pendapatannya karena tidak jarang ditemui guru yang membantu anak
didiknya yang tidak mampu, khususnya dalam kondisi pandemi seperti ini. Bahkan
ada juga guru yang rela membeli kuota data atau pulsa untuk anak didik mereka
meskipun sekarang Permendikbud membolehkan penggunaan dana BOS untuk membeli
kuota data baik untuk guru dan siswa. “Kami lebih cenderung agar
anggaran-anggaran tak bermanfaat dan tak mengubah keadaan yang ada di
Kemendikbud itu yang dialihkan untuk Covid-19, anggaran peningkatan kompetensi
guru di Dirjen GTK Kemendikbud tak banyak bermanfaat seperti anggaran
organisasi penggerak yang lebih dari setengah triliun dan anggaran lain terkait
peningkatan kompetensi guru oleh Kemendikbud dialihkan saja untuk Covid-19,”
tegas Ramli. (dikutip dari mediaindonesia.com Jum’at, 24 Juli
2020 17.00)
Guru merupakan tombak terdepan dalam memajukan
pendidikan dan pembinaan generasi di lingkungan sekolah. Tanpa guru, apalah
jadinya dunia pendidikan sehingga peran guru tak dapat dipisahkan dari
aktivitas pembelajaran.
Tentunya dibalik kewajiban dalam menjalankan
amanah tersebut, harus diiringi dengan pemenuhan hak yang setara dengan
tanggung jawab besar.
Selama ini kacamata pendidikan dalam sistem
kapitalisme-demokrasi hanya memandang sebelah mata peran guru. Dengan gaji yang
mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih, untuk
meningkatkan intelektualitas dan membentuk akhlak mulia pada peserta didik.
Apalagi dimasa pandemi ini, tentu mereka para guru
memerlukan bantuan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, bukan malah di kurangi.
Sebagai
perbandingan, pada zaman kekhilafahan islam dulu, Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat
dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang
guru yang mengajar anak-anak.
Khalifah
Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1
dinar = 4,25 gram emas).
Jika
dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30jt lebih. Tentunya ini tidak
memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti
profesinya guru.
Tidak heran di masa Khilafah dijumpai banyak generasi cerdas
dan shaleh. Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dapat dinikmati
tanpa beban biaya yang besar.
Kenapa
bisa seorang guru memiliki gaji sebesar itu?
Dalam
pemahaman pragmatis, setiap yang bermutu pasti mahal. Tapi, tidak bagi sistem
Khilafah yang menerapkan syariat islam secara kaffah (total).
Hal
tersebut terbukti selama 13 abad mampu menjamin kesejahteraan guru dan murid.
Inilah
Islam, ketika diterapkan secara kaffah maka rahmatnya akan dirasakan oleh
seluruh makhluk.
Pemangkasan dana pendidikan terutama gaji guru, yang digunakan
untuk penanggulangan wabah covid merupakan kebijakan yang kurang tepat, karena
hal tersebut menjadikan para guru memiliki penghasilan yang sedikit, padahal
saat wabah covid ini berlangsung mereka membutuhkan biaya untuk kehidupannya.
Seharusnya pemerintah lebih bijak dalam penanggulangan wabah ini
dengan tidak memangkas dana pendidikan yang efeknya buruk bagi masyarakat,
khususnya para guru.
Dana yang memang digunakan dalam sektor-sektor bidang penting
(pendidikan, kesehatan, dan sosial) tidak seharusnya dikurangi, malah
seharusnya ditambah.
Begitulah ketika sebuah negara diatur dengan sitem kapitalis,
dimana aturan dan undang-undang bisa di otak-atik sesuai dengan pesanan para
pemilik modal.
Berbeda dengan negara yang di atur dengan sistem islam, dimana
semua hukum bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, pemimpin negara menjalankan
pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang patokannya adalah halal dan haram
serta ridho dari Allah SWT.
Wallahu a’lam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar